
Patroli di Samudra Digital: Sudah Perlukah Pengawas Perikanan Masuk ke Dark Web?
Bayangkan suatu malam, seorang kolektor di Eropa menekan tombol komputernya. Di layar, bukan sekadar forum biasa yang bisa diakses Google, melainkan ruang gelap penuh enkripsi—dark web. Di sana, foto seekor Napoleon Wrasse (Cheilinus undulatus) yang dilindungi internasional atau perdagangan benih bening lobster yang tidak sesuai ketentuan ditawarkan secara rahasia. Transaksi berlangsung dengan mata uang kripto, pengirimannya dikaburkan lewat dokumen palsu, dan jejaknya nyaris mustahil ditemukan. Sementara itu, di laut tropis, nelayan kecil yang sebenarnya dilindungi hukum justru menjadi korban dari jaringan penyelundupan global ini.
Kisah semacam itu bukan fiksi belaka. Penyelundupan satwa laut dilindungi, termasuk ikan hias dan spesies bernilai tinggi, semakin canggih memanfaatkan teknologi digital. Pertanyaannya: apakah pengawas perikanan di Indonesia sudah perlu masuk ke dunia dark web?
Dari Laut ke Layar: Evolusi Perdagangan Ikan Ilegal
Selama bertahun-tahun, perdagangan ikan ilegal identik dengan aktivitas fisik—kapal asing mencuri ikan di perairan Indonesia, atau oknum membawa hasil laut terlarang melewati bandara. Namun, seiring digitalisasi, jaringan gelap perdagangan ikan ikut bermigrasi ke ruang maya.
Dark web menjadi tempat persembunyian baru. Berbeda dengan deep web (isi internet yang tidak diindeks mesin pencari, seperti email atau database perpustakaan), dark web adalah bagian yang hanya bisa diakses dengan perangkat khusus seperti Tor Browser. Perdagangan satwa liar termasuk dark web sulit dipantau. Dari analisis ±2 juta iklan selama 5 tahun dengan 7.000 istilah pencarian, ditemukan 3.332 iklan melibatkan 153 spesies (Stringham, et al, 2023)
Pengawasan Perikanan: Dari Pantai ke Cyber
Selama ini, pengawas perikanan di Indonesia sudah terbukti sigap menjaga laut. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat ratusan kapal pelaku illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU fishing) ditangkap setiap tahun. Namun, ancaman penyelundupan tidak lagi berhenti di dermaga. Saat permintaan global berpindah ke ranah digital, pengawasan pun perlu bertransformasi.
Ada analogi menarik: seperti polisi lalu lintas yang tak cukup hanya mengawasi jalan raya, tapi juga harus siap menghadapi balapan liar virtual di dark net. Begitu pula pengawas perikanan: tidak cukup hanya patroli laut, tetapi juga perlu patroli siber.
Ilmu Psikologi Kriminal di Balik Dark Web
Kenapa para pelaku merasa aman di dark web? Jawabannya terletak pada ilusi anonimitas. Psikolog menyebut fenomena ini sebagai online disinhibition effect—orang lebih berani melanggar norma ketika merasa tak terlacak (Suler, 2004). Kriminal perdagangan ikan langka pun memanfaatkan kondisi ini.
Bagi pengawas perikanan, memahami aspek psikologis ini penting. Memasuki dark web bukan hanya soal teknologi, tetapi juga membaca pola komunikasi, memahami bahasa kode, hingga membedakan mana iklan asli dan mana jebakan.
Belajar dari Penegak Hukum Lain
Penelitian Horison et al (2017) menyebutkan bahwa meningkatnya penggunaan internet sebagai platform perdagangan memengaruhi pola perdagangan satwa liar ilegal. Studi awal ini menelusuri aktivitas di dark web dengan menganalisis 9.852 item menggunakan 121 kata kunci terkait perdagangan satwa liar, termasuk gading gajah. Hasilnya, hanya empat kata kunci yang muncul, dengan satu kasus berhubungan pada kaktus San Pedro (Echinopsis pachanoi) yang bersifat halusinogenik. Aktivitas minim ini, dibandingkan perdagangan terbuka di surface web, menunjukkan lemahnya penegakan hukum di ruang digital.
Interpol dan Europol sudah mulai menaruh perhatian pada perdagangan satwa liar di dark web Jika penegak hukum global bisa menggunakan intelijen siber untuk memerangi perdagangan gading atau burung eksotis, mengapa pengawas perikanan tidak bisa melakukan hal sama untuk spesies laut? Indonesia, dengan luas laut 6,4 juta km² dan kekayaan biodiversitasnya, punya kepentingan lebih besar untuk melakukannya.

Ilustrasi dikutip dari : https://www.kaspersky.com/resource-center/threats/deep-web
Risiko dan Etika: Tidak Semua Boleh Masuk
Namun, memasuki dark web bukan tanpa risiko. Ada kemungkinan petugas terjebak honeypot (jebakan digital), atau datanya diretas. Selain itu, ada aspek etika: sejauh mana pengawas perikanan boleh melakukan penyamaran? Apakah boleh membeli ikan ilegal secara pura-pura untuk membuktikan transaksi?
Di sini, kerjasama lintas lembaga menjadi kunci. Pengawas perikanan mungkin tidak bisa sendiri. Mereka perlu berkolaborasi dengan unit siber kepolisian, bea cukai, bahkan lembaga internasional. Pendidikan digital forensik juga harus menjadi bagian dari kurikulum pengawasan perikanan ke depan.
Dari Dark Web ke Blue Economy
Mengapa semua ini penting? Karena perlindungan spesies dilindungi bukan sekadar soal ekologi, tetapi juga soal blue economy (ekonomi biru). Ikan langka yang diselundupkan bukan hanya mengancam keberlanjutan ekosistem, tetapi juga merugikan nelayan kecil yang taat aturan.
Ketika pasar ilegal berkembang di dark web, harga bisa melonjak tak wajar. Seekor Napoleon Wrasse, misalnya, bisa dihargai ribuan dolar di luar negeri. Jika penyelundupan ini tidak diawasi, maka yang rugi bukan hanya negara, tapi juga masa depan pangan masyarakat pesisir.
Dengan demikian, memasuki dark web bagi pengawas perikanan bukan sekadar ikut-ikutan tren teknologi, melainkan bagian dari strategi menjaga ketahanan pangan dan keadilan ekonomi.
Penutup: Sudah Saatnya Menyusuri Dunia Gelap
Apakah pengawas perikanan perlu masuk ke dark web? Jawaban singkatnya: ya, cepat atau lambat. Karena laut kita kini bukan hanya dijarah kapal asing, tetapi juga oleh klik-klik anonim di ruang maya.
Tentu, tidak semua pengawas harus menjadi “hacker.” Namun, membangun tim intelijen siber yang fokus memantau dunia maya, dunia digital termasuk dark web bisa menjadi terobosan besar. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya kuat di lautan, tetapi juga tangguh di dunia digital.