
Memahami Hot Pursuit, Hak Penegakan Hukum Hingga ke Laut Lepas
Oleh: Yudhistira Rizky Abdillah, S.Kel., MFishPol.
Hak pengejaran seketika (Right of Hot Pursuit) berdasarkan ketentuan Pasal 111 UNCLOS adalah hak negara pantai untuk menegakkan peraturan perundangan nasionalnya sampai dengan laut lepas atau bahkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara lain, atas kapal-kapal yang melakukan pelanggaran di wilayah yurisdiksi nasional negara pantai tersebut. Pelaksanaan pengejaran seketika atas pelanggaran peraturan negara pantai tersebut tentunya harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di masing-masing zona maritim.
Sehingga contohnya, negara pantai tidak bisa melaksanakan pengejaran seketika dengan alasan pelanggaran kepabeanan di ZEE, karena ZEE bukanlah zona untuk menegakkan peraturan kepabeanan. Daftar zona maritim beserta jenis pelanggaran yang sah untuk melaksanakan hot pursuit dapat dilihat pada tabel di bawah.
Tabel Zona Maritim dan Jenis Pelanggaran untuk Pelaksanaan Pengejaran Seketika
Zona Maritim | Jenis Pelanggaran |
Perairan Pedalaman | Semua pelanggaran, termasuk perikanan |
Perairan Kepulauan | Semua pelanggaran, termasuk perikanan |
Laut Teritorial | Semua pelanggaran, termasuk perikanan |
Zona Tambahan | Fiskal, kekarantinaan, kepabeanan dan perikanan* |
ZEE | Perikanan |
Landas Kontinen | Perikanan khusus untuk spesies dasar laut dan pelanggaran atas hak negara pantai mengelola sumberdaya non-hayati (minyak, gas bumi dan mineral lainnya) di dasar laut dan tanah di bawahnya. |
*Zona tambahan berada di dalam ZEE, sehingga juga berlaku ketentuan perikanan
Contoh kasus kesalahan negara pantai dalam melaksanakan pengejaran seketika adalah sengketa antara St. Vincent and The Grenadines dan Guinea atas M/V Saiga pada tahun 1997. Sengketa ini dibawa ke ITLOS oleh St. Vincent and The Grenadines karena kesalahan penegakan hukum, termasuk pengejaran seketika atas kapal tanker M/V Saiga di ZEE oleh Guinea atas tuduhan pelanggaran kepabeanan.
Sesuai dengan tabel di atas, maka seharusnya untuk penegakan peraturan kepabeanan dapat dilakukan maksimal sampai zona tambahan, yaitu sampai dengan 24 mil dari garis pantai. Oleh karena itu, penegak hukum wajib memahami pembagian zona maritim beserta yurisdiksi hukumnya. Dalam pelaksanaan pengejaran seketika penegak hukum harus memahami beberapa persyaratan berikut ini.
Persyaratan memulai hot pursuit
Sesuai dengan ketentuan Pasal 111 ayat (5) UNCLOS, pengejaran seketika dapat dilakukan baik oleh kapal, pesawat atau helikopter baik militer maupun pemerintahan dengan tanda yang jelas bahwa aset patroli tersebut adalah otoritas pemerintahan. Dalam memulai pengejaran seketika ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Harus memiliki bukti yang kuat bahwa kapal asing melanggar peraturan perundang-undangan sesuai zona maritimnya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 111 ayat (1) UNCLOS dengan frasa “good reason to believe” yang berarti bahwa kapal patroli memiliki bukti yang cukup. Bagi penegak hukum perikanan Indonesia, ketentuan ini sangat mudah dilaksanakan karena Indonesia tidak memberikan akses penangkapan ikan untuk kapal perikanan berbendera asing di ZEE. Oleh karena itu, setiap kapal asing yang mengoperasikan alat penangkap ikannya jelas melakukan illegal fishing.
2. Posisi kapal perikanan asing berada di zona maritim nasional pada saat menerima perintah untuk berhenti. Dijelaskan lagi pada ayat (4) bahwa posisi kapal perikanan asing atau kapal pendukung operasinya yang bekerja sama sebagai tim masih berada di zona maritim yurisdiksi nasional negara pantai yang dilanggar.
3. Pengejaran seketika secara hukum sah dilakukan jika isyarat secara visual atau suara dipastikan telah diterima oleh kapal perikanan asing. Tanda secara visual dapat berupa isyarat semaphore dari petugas atau penggunaan suar. Sedangkan isyarat suara dapat berupa perintah melalui pengeras suara. Penggunaan radio masih menjadi perdebatan dengan argumen sebagian ahli bahwa penggunaan radio dapat dilakukan dalam jarak yang sangat jauh.
Pengejaran harus terus menerus dan tidak terputus
Berdasarkan ketentuan Pasal 111 ayat (1) UNCLOS, salah satu persyaratan hukum pelaksanaan pengejaran seketika adalah pengejaran harus terus menerus dan tidak terputus atau terganggu. Pengejaran harus dilakukan oleh kapal yang memberikan isyarat untuk berhenti dan melakukan pengejaran pertama kali. Pemanggilan kapal patroli bantuan lain selanjutnya untuk menghentikan kapal yang dikejar dari arah yang berbeda dapat menyebabkan terganggunya atau terputusnya pengejaran.
Dalam hal isyarat untuk berhenti diberikan oleh pesawat udara atau helikopter, maka pesawat udara atau helikopter tersebut harus secara aktif mengejar sampai kapal patroli mengambil alih pengejaran. Yang tidak diperbolehkan adalah memanggil bantuan kapal patroli lain yang tidak memberikan isyarat untuk berhenti untuk memotong kapal yang dikejar dari arah yang berbeda. Jurisprudensi ITLOS pada sengketa M/V Saiga tahun 1999 menegaskan hal ini ketika pada tahun 1997 kapal patroli Guinea yang dipanggil belakangan dan menghentikan M/V Saiga diputuskan hakim ITLOS sebagai terputusnya pengejaran dan tidak sah.
Bagaimana jika kondisi cuaca ekstrim menyebabkan pengejaran tertunda atau terhenti? Kapal patroli harus tetap mengaktifkan dan memantau kapal yang dikejar melalui radar untuk menghindari terhentinya pengejaran. Belum ada jurisprudensi atas kemungkinan ini, tetapi dengan asumsi bahwa hal tersebut adalah force majeur, maka pengejaran yang tertunda karena kondisi cuaca ekstrim dapat dibenarkan.
Berakhirnya hot pursuit
Pasal 111 ayat (3) menegaskan bahwa pengajaran harus dihentikan segera setelah kapal yang dikejar memasuki laut teritorialnya maupun laut teritorial negara lain. Ketentuan ini memberikan peluang bagi kapal yang dikejar untuk melarikan diri dan menghindari penegakan hukum oleh negara pantai. Bagi Indonesia dan banyak negara lain, ketentuan ini menjadi tantangan yang signifikan karena posisi geografis Indonesia di beberapa area berdekatan dengan negara tetangga, sehingga peluang kapal asing pelaku illegal fishing untuk melarikan diri sangat besar.
Strategi yang dapat dilakukan adalah meminta bantuan negara tetangga untuk mengusir kapal yang melarikan diri tersebut dari laut teritorialnya. Banyak pakar berargumen bahwa kapal yang melarikan diri ke laut teritorial negara lain tersebut tidak bisa dikatakan mengklaim hak lintas damai, karena melarikan diri dari hukum bukanlah lintas damai. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama atau pengaturan teknis dengan negara tetangga atau mekanisme regional untuk mengusir kapal-kapal yang melarikan ke laut teritorialnya.
Kerjasama multilateral dalam hot pursuit
Pengejaran seketika bukanlah perkara yang mudah. Selain persyaratan hukumnya yang ketat dan menyulitkan negara pantai, juga terdapat kemungkinan pengejaran dilakukan hingga ke laut lepas dalam jarak yang sangat jauh dan waktu yang panjang. Oleh karena itu, bantuan dari negara lain untuk mengejar kapal asing berbendera negara ketiga sangat mungkin diperlukan untuk melaksanakan pengejaran seketika dengan sukses. Multilateral hot pursuit dalam sejarah pernah dipraktekkan oleh Australia.
Australia dua kali sukses melaksakan hot pursuit dengan bantuan negara lain atas kapal perikanan asing yang melakukan illegal fishing di ZEE Australia di Antartika. Hot pursuit pertama pada tahun 2001 dilakukan oleh kapal patroli Australia Southern Supporter atas MV South Tomi, kapal ikan berbendera Togo. MV South Tomi ditangkap setelah pengejaran selama 14 hari dengan jarak 3.300 nm, setelah dibantu oleh kapal angkatan laut Afrika Selatan yang membawa petugas Australia yang diterbangkan dari Australia.

Ilustrasi Pengejaran MV South Tomi oleh Kapal Patroli Australia, Southern Supporter
Selanjutnya tahun 2003, kapal patroli yang sama kembali melakukan hot pursuit atas kapal penangkap ikan berbendera Uruguay MV Viarsa 1 selama 21 hari dan menempuh jarak 3.900 nm. Pengejaran ini juga dibantu oleh Britania Raya dan Afrika Selatan. Kedua pengejaran yang dilakukan Australia tersebut merupakan hot pursuit terlama dan terjauh sepanjang sejarah.

Ilustrasi Pengejaran MV Viarsa 1 oleh Kapal Patroli Australia, Southern Supporter
Kerja sama multilateral ini sebenarnya dapat diterapkan oleh Indonesia beserta negara-negara anggota RPOA-IUU untuk melakukan hot pursuit setidaknya atas kapal asing berbendera negara non-anggota RPOA-IUU atau kapal tanpa kebangsaan (stateless vessel). Apalagi RPOA-IUU juga telah memiliki Resolusi untuk Menindak Kapal tanpa Kebangsaan. Jika kerja sama ini diterapkan, maka terhadap kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia dapat diberikan efek jera dan tidak ada peluang untuk melarikan diri dari penegakan hukum.
Pengawas Perikanan sebagai penegak hukum perikanan tentu wajib memahami dasar hukum, konsep, tata cara dan prosedur pelaksanaan hot pursuit. Ketentuan hot pursuit dalam UNCLOS jika kita cermati memberikan persyaratan yang ketat bagi negara pantai, di satu sisi lebih banyak menguntungkan kapal pelaku pelanggaran yang dikejar. Kesalahan dalam melaksanakan prosedur pengejaran seketika dapat menjadi celah bagi negara bendera kapal yang diburu untuk menggugat ke ITLOS dan berpotensi menjadi kegagalan penegakan hukum.
Kontributor adalah Pengawas Perikanan Ahli Muda pada Direktorat Pengawasan Sumber Daya Perikanan juga sebagai Ketua Umum HPPI
Referensi
United Nations Convention on the Law of the Sea, dibuka untuk penandatanganan 10 December 1982, 1833 UNTS 3 (efektif berlaku 16 November 1994)
The Saiga Case (St. Vincent and The Grenadines v Guinea) (Judgment) (International Tribunal for The Law of The Sea, Case No. 2, 1 July 1999)
Australian Antarctic Division, Another one that didn’t get away (10 Oktober 2001) <http://www.antarctica.gov.au/magazine/2001-2005/issue-2-spring-2001/international/another-one-thasd3wfvhgt-didnt-get-away!>
Australian Antarctic Division, Poachers pursued over 7,000 kilometres (25 Mei 2004) <http://www.antarctica.gov.au/magazine/2001-2005/issue-6-autumn-2004/feature/poachers-pursued-over-7-000-kilometers>