
Tidak Sepenuhnya Bebas, Kapal Perikanan di Laut Lepas diawasi melalui Skema High Seas Boarding and Inspection
Oleh: Yudhistira Rizky Abdillah, S.Kel., MFishPol.
Di laut lepas pada dasarnya kapal berbendera manapun memiliki kebebasan berlayar dan menangkap ikan. Jurisdiksi atas kapal di laut lepas pun menjadi kewenangan khusus negara bendera kapal. Berdasarkan Pasal 110 UNCLOS, menaiki kapal di laut lepas dikenal sebagai Right of Visit, yang terbatas hanya boleh dilakukan oleh kapal militer atau kapal pemerintah apabila terdapat cukup bukti untuk menduga bahwa kapal tersebut terlibat kejahatan pembajakan, perdagangan manusia, penyiaran tanpa izin, kapal tidak berkebangsaan, serta kapal yang berbendera sama dengan kapal militer atau kapal pemerintah yang bersangkutan.
Right of Visit memiliki keterbatasan dan tidak memberikan kewenangan untuk membawa kapal ke pelabuhan apabila ditemukan pelanggaran. Selain right of visit, pemeriksaan kapal perikanan di laut lepas dapat dilakukan melalui skema High Seas Boarding and Inspection (HSBI). Sesuai prinsip pacta tertiis, maka ketentuan ini hanya dapat dilakukan atas kapal perikanan berbendera negara yang telah meratifikasi UNFSA dan kapal yang tidak berkebangsaan. Ketentuan kewenangan pemeriksaan kapal perikanan di laut lepas menurut Pasal 21 ayat (1) UNFSA adalah sebagai berikut:
“In any high seas area covered by a subregional or regional fisheries management organization or arrangement, a State Party which is a member of such organization or a participant in such arrangement may, through its duly authorized inspectors, board and inspect, in accordance with paragraph 2, fishing vessels flying the flag of another State Party to this Agreement, whether or not such State Party is also a member of the organization or a participant in the arrangement...”
Kewenangan untuk menaiki dan memeriksa kapal perikanan dalam UNFSA secara prinsip mengecualikan ketentuan UNCLOS Pasal 91 yang memberikan kewenangan khusus negara bendera atas kapal perikanannya yang beroperasi di laut lepas. Yang harus diperhatikan oleh petugas untuk melakukan pemeriksaan kapal asing di laut lepas adalah bahwa kapal yang diperiksa terbatas hanya kapal berbendera negara yang telah meratifikasi UNFSA dan kapal tanpa kebangsaan.
Pasal 22 ayat (1) Perjanjian ini juga mengatur prosedur yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan pemeriksaan kapal perikanan asing di laut lepas. Negara yang melakukan pemeriksaan wajib memastikan bahwa petugas yang melakukan pemeriksaan di laut lepas untuk:
1. menunjukkan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan menunjukkan salinan ketentuan konservasi dan pengelolaan perikanan terkait di wilayah laut lepas dalam hal pemeriksaan tersebut ditanyakan oleh nakhoda kapal;
2. memberitahukan kepada negara bendera pada saat menaiki dan memeriksa kapal;
3. tidak diperbolehkan mengganggu nakhoda untuk berkomunikasi dengan otoritas negara bendera pada saat pemeriksaan;
4. menyerahkan laporan hasil pemeriksaan kepada nakhoda dan otoritas negara bendera kapal;
5. segera meninggalkan kapal setelah melakukan pemeriksaan jika tidak ada bukti bahwa kapal telah melakukan pelanggaran serius;
6. mencegah penggunaan kekuatan, kecuali untuk memastikan keselamatan dan pelaksanaan tugas pemeriksa tidak terganggu.
Sesuai Pasal 22 ayat (2), objek yang menjadi pemeriksaan kapal di laut lepas adalah sebagai berikut:
1. Fisik kapal, termasuk penandaan kapal dan identitas kapal;
2. Dokumen perizinan kapal;
3. Alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan, serta perlengkapan navigasi kapal;
4. Laporan-laporan kapal termasuk log book penangkapan ikannya;
5. Fasilitas-fasilitas kapal termasuk di antaranya palka dan unit pengolahan ikan jika kapal melakukan pengolahan langsung di atas kapal;
6. Dokumen terkait lainnya untuk memverifikasi kepatuhan kapal atas ketentuan konservasi dan pengelolaan perikanan.
Selain itu, Pasal 22 ayat (3) mengatur kewajiban negara bendera dalam pelaksanaan pemeriksaan kapal di laut lepas, yaitu sebagai berikut:
1. Sesegera mungkin menerima dan memfasilitasi keselamatan petugas pemeriksa untuk menaiki kapal;
2. Bekerja sama dan membantu pelaksanaan pemeriksaan oleh petugas pemeriksa;
3. Tidak boleh mengganggu dan mengintimidasi petugas pemeriksa pada saat pemeriksaan;
4. Mengizinkan petugas pemeriksa untuk berkomunikasi dengan negara bendera maupun dengan negara pemeriksa;
5. Menyediakan fasilitas sewajarnya kepada petugas pemeriksa, termasuk jika memungkinkan, makanan dan akomodasi jika diperlukan;
6. Memfasilitasi keselamatan petugas pemeriksa pada saat meninggalkan kapal setelah selesainya pemeriksaan.

Gambar Mekanisme High Seas Boarding and Inspection
Bagaimana jika nakhoda kapal menolak untuk dilakukan pemeriksaan atas kapalnya? Negara bendera wajib memerintahkan nakhoda kapal untuk tidak menghalangi pelaksanaan pemeriksaan kapal, dan apabila nakhoda tidak memenuhi perintah tersebut, maka negara bendera wajib mencabut izin kapal untuk menangkap ikan di laut lepas (authorization to fish) dan memerintahkan kapal untuk segera kembali ke pelabuhan. Negara bendera wajib melaporkan tindakan atau sanksi yang diberikan atas kapal yang menolak pemeriksaan kepada negara yang melakukan pemeriksaan.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan tidak ditemukan pelanggaran atas kapal asing, maka petugas pemeriksa segera menyerahkan hasil pemeriksaan kepada nakhoda kapal. Untuk menentukan apakah kapal asing yang diperiksa melakukan pelanggaran ketentuan konservasi dan pengelolaan perikanan, maka negara pemeriksa harus memiliki alasan dan bukti yang cukup atas pelanggaran yang dilakukan. Langkah yang harus dilakukan oleh pemeriksa adalah mengamankan bukti-bukti dan segera memberikan notifikasi kepada negara bendera kapal.
Selanjutnya negara bendera setelah mendapatkan notifikasi pelanggaran kapal yang mengibarkan benderanya wajib menindaklanjuti notifikasi tersebut. Negara bendera memiliki waktu paling lambat tiga hari setelah diterimanya notifikasi untuk melakukan investigasi, jika bukti kuat dan meyakinkan, maka wajib melakukan penegakan hukum atas kapal, dan menginformasikan kepada negara pemeriksa hasil investigasi dan penegakan hukum yang dilakukan. Opsi kedua adalah negara bendera dapat mengizinkan negara pemeriksa untuk melakukan investigasi. Karena pada prinsipnya negara bendera memiliki yurisdiksi atas kapalnya di laut lepas, maka tetap penjatuhan hukuman menjadi kewenangan negara bendera terkait.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan pelanggaran serius dan negara bendera tidak memberikan respon atau tidak mengambil tindakan, maka langkah-langkah selanjutnya yang dilakukan adalah:
1. Pemeriksa dapat tetap berada di atas kapal dan mengamankan bukti-bukti dan dapat memerintahkan nakhoda kapal untuk membantu pelaksanaan investigasi lanjutan, termasuk jika diperlukan, membawa kapal ke pelabuhan terdekat;
2. Negara pemeriksa wajib segera menginformasikan nama pelabuhan yang digunakan untuk investigasi lanjutan kepada negara bendera;
3. Negara pemeriksa, negara bendera dan negara pelabuhan wajib melakukan langkah-langkah untuk memastikan keselamatan dan kesehatan awak kapal dari manapun negara kebangsaannya.
Beberapa pelanggaran yang dikategorikan sebagai pelanggaran serius yaitu:
1. Menangkap ikan tanpa perizinan yang sah dari negara bendera;
2. Tidak mencatat data tangkapan ikan atau data lain terkait tangkapan ikan dengan akurat, atau ketidakbenaran pencatatan data tangkapan ikan, sebagaimana dipersyaratkan oleh RFMO dimana kapal tersebut terdaftar.
3. Menangkap ikan di daerah larangan penangkapan ikan, atau selama musim larangan penangkapan ikan, atau menangkap setelah kuota maksimal penangkapan ikan yang ditetapkan RFMO telah tercapai;
4. Menangkap stok ikan yang dikenakan moratorium penangkapan atau stok ikan yang dilarang ditangkap;
5. Menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang;
6. Memalsukan atau menyembunyikan tanda kapal atau identitas kapal;
7. Menyembunyikan, merusak atau membuang bukti-bukti investigasi kapal;
8. Pelanggaran berulang atas ketentuan konservasi dan pengelolaan perikanan;
9. Pelanggaran lainnya yang mungkin ditetapkan RFMO terkait.
Apabila negara bendera tidak menjatuhkan hukuman kepada kapal yang melanggar, maka negara pemeriksa dapat mengusulkan kepada RFMO untuk memasukkan kapal tersebut dalam daftar kapal IUU atau blacklist.
Saat ini RFMO yang telah mengadopsi mekanisme HSBI antara lain WCPFC, SIOFA, CCAMLR, NAFO, NEAFC, dan SPRFMO. Manfaat HSBI adalah untuk mencegah IUU fishing dan menindak kapal pelaku IUU fishing atau kapal tanpa kebangsaan. Bagi negara berkembang yang wilayah yurisdiksi nasionalnya sendiri masih rawan kegiatan IUU fishing, tentu melaksanakan HSBI tidak menjadi prioritas. Bagi Indonesia sendiri saat ini juga belum prioritas menerapkan HSBI. Namun, di kemudian hari tentu HSBI prospektif untuk meningkatkan kerja sama regional di RFMO. Selain itu, HSBI dapat menjadi opsi pemerintah memburu kapal-kapal buron pelaku IUU fishing yang beroperasi di laut lepas.
Referensi
United Nations Convention on the Law of the Sea, dibuka untuk penandatanganan 10 December 1982, 1833 UNTS 3 (efektif berlaku 16 November 1994)
Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Conventions on the Law of the Sea 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks, dibuka untuk penandatanganan 4 December 1995, 2167 UNTS (efektif berlaku 11 December 2001)